Senin, 20 Oktober 2008

INDONESIA PERLU MENWA

Rekan sekalian,

Berikut saya kirim ulang tulisan menyambut
RaKomNas dan RaKoNas Menwa yang diselenggarakan secara
marathon dari tanggal 24-26 dan 27-28 juli 2006 ini,
dengan Judul Subject yang cocok, supaya kalau nanti
siapa tahu muncul tulisan jilid II dst., ceritanya
bisa nyambung.

Salam hangat,

HermanSyah XIV.


=====


Apakah Indonesia memerlukan Resimen Mahasiswa?


Menurut saya perlu, sangat perlu. Mengapa ? Marilah
iseng2 berhadiah kita coba telusuri bagaimana kerangka
berpikirnya, seperti berikut ini.

Indonesia adalah negara Republik (Kesatuan) yang
demokratis dan berdaulat, dan yang seperti setiap
negara pada umumnya, juga memiliki cita2 kemerdekaan.
Cita2 kemerdekaan RI itu dapat kita baca di mukadimah
UUD45 yang berbunyi :

?Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah
sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat
sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu
gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur.?

Jadi, cita2 Republik Indonesia adalah Indonesia yang
bersatu, berdaulat, adil dan makmur, yang baru
diantarkan sampai ke pintu gerbangnya saja oleh
perjuangan pergerakan kemerdekaan. Dengan kata lain,
cita2 ini masih jauh, masih berada di ufuk timur.
Memang sudah terlihat, namun masih harus bersusah
payah lagi untuk mencapainya.

Untuk mewujudkan atau menggapai cita2 itu, Republik
ini haruslah memiliki pemerintah yang didalam
mukadimah UUD 45 itu berkewajiban:

??melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan
kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial?.

Sementara values atau sistem nilai yang dijadikan
dasar bekerjanya Pemerintah yang sah dan
berinteraksinya seluruh manusia yang hidup di bumi
Nusantara ini tak lain tak bukan adalah Pancasila,
seperti diuraikan di alinea berikutnya:

??dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia
dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta dengan
mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia.?

Duh, betapa cantiknya! Kesepakatan dasar seluruh
rakyat Indonesia tentang akan dibawa kemana negeri ini
dan dengan cara yang bagaimana, telah dengan sangat
simple dan sangat jelas diuraikan didalam Preambule
Konstitusi Negara itu. Dengan kejelasan itu
semestinya sudah tidak ada lagi alasan dari pihak
manapun untuk mencari-cari alasan untuk
menggoyang-goyang ke 3 aspek diatas, yaitu: 1)
Cita-cita Negara, 2) Kewajiban Umum Pemerintah dan 3)
Dasar Negara.

Tapi sayang seribu sayang, sejak di proklamasikan pada
tanggal 17 Agustus 1945 sampai sekarang adaaaa saja
pihak2 yang ingin ?menguyo uyo? ke 3 aspek yang sudah
final itu. Maka adalah kewajiban Pemerintah dan
seluruh rakyat yang telah mengertilah sebenarnya untuk
bersatu padu berusaha secara terus menerus mengamankan
ke 3 aspek tsb. dari tangan2 para ?jahiliah?.

Inilah persoalan nomer satu yang musti kita hadapi
dalam kerja keras menggapai cita2 kemerdekaan itu,
yaitu bagaimana caranya mengawal dan melindungi ke 3
aspek yang menjadi inti dari Konstitusi ini (dan tentu
saja Konstitusinya sendiri secara keseluruhan), secara
terus menerus?

Jawabnya seperti saya sudah singgung diatas adalah
Pemerintah dan seluruh rakyat yang telah mengertilah,
kalau tidak bisa seluruh rakyat, yang menangkal dan
mematahkan segala bentuk ancaman maupun serangan para
?jahiliah? yang ingin ?neko-neko? ?menguyo-uyo?
Konstitusi itu.

Persoalannya bukan hanya sekedar melindungi
Kesepakatan Rakyat yang paling mendasar itu, akan
tetapi lebih jauh lagi dari itu, yaitu menjaga
kestabilan platform tempat kita semua berpijak, agar
setiap orang dapat dengan penuh konsentrasi bekerja
keras sesuai dengan keahliannya masing2 melaksanakan
kontribusinya dalam menggapai cita2 kemerdekaan yang
telah kita sepakati bersama. Bagaimana kita dapat
bekerja dengan konsentrasi penuh kalau sebentar2
platformnya goyang-goyang bukan? Jangankan
konsentrasi kita jadi kacau, salah-salah kitapun dapat
terpelanting keluar platform, sehingga musti berenang
menerjang gelombang untuk kembali ke platform atau
malah terpaksa terdampar di seberang lautan.

Karena tidak seluruh rakyat mengerti pentingnya
kestabilan platform itu, dan dengan mengacu kepada
hukum Pareto, seorang ahli ekonomi Italia, yang
mengatakan bahwa 20% input menentukan 80% output, yang
temuannya ini dapat pula diaplikasikan ke bidang non
ekonomi, maka dapat di simpulkan bahwa cukup dengan
20% saja rakyat Indonesia mengerti Konstitusi Negara,
maka ini sudah dapat memberikan 80% pengamanan
terhadap Konstitusi itu. Dan, kalau kita mengacu
kepada Henry Minzberg, yang seorang pakar management,
malah bukan 20% yang dibutuhkan, melainkan cukup 10%
saja, akan tetapi yang 10% itu adalah para pemimpin
yang mengerti dengan sungguh2 Konstitusi Negara.

Pemimpin, berbeda dengan pengetahuan klasik yang
mengatakan adalah dilahirkan, menurut pengetahuan
modern dapatlah dibentuk. Pemimpin dapat diciptakan
melalui pendidikan dan latihan, sekalipun tidak dapat
disangkal bahwa seorang yang berbakat atau berjiwa
pemimpin akan lebih mudah terbentuk menjadi seorang
pemimpin yang baik melalui pendidikan dan latihan itu.

Di Indonesia, menurut saya hanya ada 2 cara yang murni
dapat didayagunakan untuk mempersiapkan Pemimpin sipil
yang mengerti dan setia pada Konstitusi Negara. Cara
pertama adalah melalui Gerakan Pramuka, dan cara yang
kedua adalah melalui Resimen Mahasiswa.

Tak dapat dipungkiri kita juga melihat betapa
banyaknya organisasi masyarakat dan kemahasiswaan
lainnya yang sebenarnya juga dapat dijadikan wahana
mencetak pemimpin yang dimaksud diatas. Akan tetapi
organisasi2 tsb pada umumnya memiliki landasan idiil
dan filosofis lain selain Pancasila, misalnya
berlandaskan Islam, Kristen, Budha, dlsb. Atau
kalaupun landasan idiilnya Pancasila, sepak terjangnya
sama sekali tak mencerminkan nilai2 yang termaktub
didalam Pancasila itu. Dan, kalaupun mereka semua
memiliki landasan Konstitusional yang sama, yaitu UUD
45, landasan Konsitusional itu seringkali terlihat
hanya sekedar penghias Mukadimah Anggaran Dasar mereka
saja. Bahwasanya dengan menjadikan Konstitusi Negara
sebagai landasan Konstitusional seharusnya berarti
bahwa mereka akan mengutamakan kepentingan Nasional
diatas kepentingan golongan maupun pribadi, dan
membela Pancasila sebagai sistem nilai seluruh rakyat
Indonesia, itu tak berani mereka tampilkan.

All in all, saya berkesimpulan bahwa hanya Gerakan
Pramuka dan Resimen Mahasiswa lah yang murni dapat
dijadikan sebagai kawah candra dimuka digodoknya para
pengawal dan perisai sipil Konstitusi Republik
Indonesia yang kita cintai ini.

Oleh karena itu, maka Resimen Mahasiswa menurut saya
haruslah tetap ada di negeri ini. Bahwasanya di jaman
OrBa kemarin Menwa memberi kesan seolah-olah merupakan
antek2nya OrBa atau antek2nya TNI yang pada gilirannya
merupakan centengnya OrBa, dan sering pula bertingkah
laku overacting, bukanlah berarti bahwa Menwa harus
dibubarkan dan dibiarkan nasibnya terkatung-katung
tanpa induk ayam yang jelas seperti sekarang ini.
Menurut saya yang sebenarnya harus dilakukan adalah
mengembalikan Menwa kembali ke ?jalan yang benar?,
yaitu jalan yang searah dengan penciptaan pemimpin
yang membela Konstitusi Republik Indonesia seperti
saya uraikan diatas.

Jadi, menjawab judul tulisan ini yaitu apakah
Indonesia memerlukan Resimen Mahasiswa?, maka untuk
masalah nomor satu dalam menggapai cita-cita
kemerdekaan yaitu bagaimana caranya mengawal dan
melindungi Konstitusi (khususnya ke 3 basisnya itu),
jawabnya menurut saya adalah ?ya?. Indonesia iya
memerlukan Resimen Mahasiswa!

Sampai disini, saya berhenti dulu. Maklum panggilan
mencangkul kan haruslah dinomer satukan.

Dalam kesempatan lain saya akan mencoba melihat
persoalan apa berikutnya yang harus kita hadapi dalam
menggapai cita2 kemerdekaan itu, dan apakah Menwa juga
dibutuhkan untuk memecahkan persoalan tsb. Mudah2an
kesampaian.

Selamat ber RaKomNas (24-26 juli 2006) dan ber RakoNas
(27-28 juli 2006) kepada para anggota Menwa (Wira) dan
para Alumni yang mengikutinya. Semoga sukses. Masa
depan Menwa ?yang benar? berada ditangan anda semua.

Widya Castrena Dharma Siddha.
Salam hangat,

HermanSyah XIV

RUU PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

RUU Pendidikan Kewarganegaraan Masih Memerlukan Pendalaman Lebih Lanjut
Written by dmcindonesia.web.id
Friday, 17 October 2008
Jakarta, DMC - Setelah melalui proses yang cukup panjang, pada tahun 2007 berhasil dirumuskan Rancangan Undang Undang (RUU) Pendidikan Kewarganegaraan dan telah dilakukan uji publik di dua kota yaitu Yogyakarta dan Makasar. Dari hasil penyusunan tersebut masih terdapat beberapa pengaturan yang krusial yang memerlukan pendalaman lebih lanjut.
Demikian dikatakan Direktur Jenderal Potensi Pertahanan Departemen Pertahanan (Dirjen Pothan Dephan) Prof. Dr. Budi Susilo Supanjdi, D.E.A, dalam sambutan tertulisnya yang dibacakan oleh Dir Pendidikan Kesadaran Bela negara (PKBN) Ditjen Pothan Dephan Laksma TNI Prof. Dr. drg. Setyo Harnowo, Kamis (16/10) saat membuka Seminar Standarisasi dan Regulasi Bela Negara dalam Kebijakan Pertahanan Negara dalam rangka Preparasi Pengundangan RUU Pendidikan Kewarganegaraan di kantor Ditjen Pothan Dephan, Jakarta.

Lebih lanjut Dirjen mengatakan, dalam rangka menutup upaya penyusunannya dan mempersiapkan tindak lanjut legislasi, maka dilakukan preparasi pengundangannya. Dalam konteks itulah, kegiatan preparasi pengundangan ini dilakukan untuk menegaskan substansi pengaturan dan regulasi tentang pendidikan kewarganegaraan.

Menurut Dirjen, alangkah baiknya dalam seminar ini dapat ditinjau bagaimana aspek pendidikan kewarganegaraan dan bela negara dapat diakomodasi dalam kebijakan sistem pertahanan negara bersifat semesta. “Hal ini harus diperjelas, karena dua substansi pendidikan kewarganegaraan dan bela negara secara tekstual tertuang dalam pasal 9 UU No. 3 Tahun 2002”, tambah Dirjen.

Sedangkan substansi muatan baik pendidikan kewarganegaraan maupun bela negara harus mendapatkan bentuk kompetensi, isi dan prosesnya, sehingga dapat dengan jelas apakah terbedakan dengan tegas atau justru terkomposisi dengan serasi.

Dijelaskan pula Dirjen Pothan, melalui arah dan jalan pemikiran demikian itu, pendidikan kewarganegaraan dan bela negara diharapkan akan semakin tegas dan jelas dalam kebijakan pertahanan negara, regulasinya dapat dipertanggungjawabkan dan substansi materinya dapat dirumuskan agar tidak tumpang tindih dengan pendidikan kewarganegaraan yang sudah diatur dalam Sistem Pendidikan Nasional.

“Konkritnya adalah bagaimana pendidikan kewarganegaraan sebagai bagian dari upaya bela negara melalui penyelenggaraan pertahanan negara dapat durumuskan sebagai substansi dan kebijakan, regulasi atau peraturan perundang-undangan bela negara” tambah Dirjen Pothan.

Kegiatan seminar tersebut diselanggarakan oleh Ditjen Pothan Dephan dan bekerja sama dengan Pusjemen Badiklat Dephan. Seminar berlangsung selama satu hari dan diikuti peserta sebanyak 68 orang yang terdiri dari beberapa pejabat eselon III dan IV di lingkungan Dephan serta siswa Suspimjemenhan Angkatan 3 Tahun 2008. Hadir dalam acara pembukaan antara lain KaBadiklat Dephan Mayjen TNI (Purn) Anton Herry Biantoro dan sejumlah pejabat eselon I dan II di lingkungan Dephan. (BDI/HDY)